Menjelang pergantian pemerintahan, sekira 6 bulan lagi, kita dihadapkan pada postur demografi yang mencemaskan, kendati di sisi lain terdapat bonus demografi yang dikatakan besar. Bonus demografi, dalam struktur piramida penduduk, yang berusia muda lebih gemuk dibandingkan dengan penduduk yang berusia tua. Bonus ini akan dinikmati hingga sekitar 2040 atau 2050, menurut berbagai perkiraan ahli ekonomi kependudukan.
Bonus demografi ini digadang-gadang menjadi mesin pertumbuhan yang penting dalam dekade mendatang, karena usia produktif lebih besar dibandingkan dengan usia yang menjadi beban.
Itu mengapa, beberapa ahli memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030, dengan kelas konsumer yang berdaya beli melampaui 100 juta pada tahun itu, atau dua kali lipat dari angka sekitar 50 juta saat ini.
Namun, bonus demografi itu masih menjadi catatan di atas kertas. Ia baru akan benar-benar menjadi bonus, jika pemerintah tidak lagi salah langkah dan mampu memanfaatkan momentum untuk membuatnya benar-benar menjadi mesin ekonomi.
Catatan ini yang patut ditarik garis bawah yang tebal, mengingat pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) kembali memberikan warning tentang potensi ancaman yang kian nyata terhadap postur demografi Indonesia itu. Catatan utama adalah soal ketimpangan sosial ekonomi yang semakin melebar. Data BPS mengonfirmasikan bahwa penduduk kaya menikmati kue perekonomian lebih besar dibandingkan penduduk miskin. Pada 2008, misalnya, penduduk di kelompok pendapatan terendah masih menikmati 21% hingga 23% kue ekononu nasional.
Namun, porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada 2012. Sebaliknya, penduduk terkaya menikmati 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Maka, jika selama ini terdapat jargon sarkastis bahwa "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin", tidaklah terlalu berlebihan meski harus dikoreksi agar lebih tepat, yakni "yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin".
Kondisi itu terjadi karena pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan sosial ekonomi. Dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6% per tahun, pendapatan penduduk miskin hanya naik maksimal 2% per tahun. Sebaliknya pendapatan penduduk terkaya naik hingga 8%. Dengan kata lain, pendapatan orang kaya melonjak signifikan, sebaliknya pendapatan orang miskin naik sedikit demi sedikit saja.
Bukan cuma itu. Kerawanan postur demografi juga terlihat dari ledakan jumlah penduduk yang mengkhawatirkan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai 1,49% dalam kurun waktu 2000 hingga 2010, dan diperkirakan saat ini sudah lebih tinggi lagi. Laju pertumbuhan penduduk sekencang itu adalah peringatan serius bagi Indonesia, karena sebelumnya hanya berkisar 1,1% hingga 1,2%. Persoalannya, laju pertumbuhan penduduk yang cepat itu justru terkonsentrasi pada penduduk miskin. Merujuk data BPS. rata-rata anggota keluarga per rumah tangga penduduk miskin adalah 4,84; yang berarti beban sosial ekonominya sangat berat. Sebaliknya anggota keluarga rumah tangga penduduk kaya hanya sekitar 3.
Belum lagi, umur rata-rata kepala rumah tangga miskin adalah 49 tahun, dengan rata-rata usia kerja pendek. Akibatnya, akses terhadap pendidikan semakin menjauh, begitu pula kesehatan, yang berdampak pada penurunan kompetensi mereka untuk masuk pasar kerja.
Postur kemiskinan ini akan berdampak terhadap layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Apabila tidak segera dicari jalan keluar yang tepat untuk mencegah ledakan penduduk lebih cepat lagi, sekaligus menyediakan layanan kebutuhan dasar tersebut, maka bencana demografi akan menggantikan bonus demografi.
Maka tidak ada pilihan, program Keluarga Berencana harus digalakkan lagi. Selain itu, pemerintah baru nanti perlu lebih memperhatikan kebijakan yang langsung menyentuh aspek demografis tersebut, terutama menyelamatkan penduduk miskin.
Salah satunya adalah dengan memperbaiki kebijakan dan politik pembangunan, agar pertumbuhan ekonomi lebih berorientasi pada sektoryang menciptakan lapangan kerja. Sekadar ilustrasi, pertumbuhan sektor pertanian yang menyerap 35% tenaga kerja hanya tumbuh 3% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan sektor transportasi dan telekomunikasi, dengan daya serap tenaga kerja hanya 4% alias padat modal, tumbuh jauh lebih tinggi, di atas 7%.
Inilah pekerjaan rumah yang telah diwariskan pemerintah sekarang, yang akan jatuh tempo 5 bulan lagi. Ke depan, tugas berat bagi pemerintahan baru segera menanti.
sumber
Bonus demografi ini digadang-gadang menjadi mesin pertumbuhan yang penting dalam dekade mendatang, karena usia produktif lebih besar dibandingkan dengan usia yang menjadi beban.
Itu mengapa, beberapa ahli memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030, dengan kelas konsumer yang berdaya beli melampaui 100 juta pada tahun itu, atau dua kali lipat dari angka sekitar 50 juta saat ini.
Namun, bonus demografi itu masih menjadi catatan di atas kertas. Ia baru akan benar-benar menjadi bonus, jika pemerintah tidak lagi salah langkah dan mampu memanfaatkan momentum untuk membuatnya benar-benar menjadi mesin ekonomi.
Catatan ini yang patut ditarik garis bawah yang tebal, mengingat pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) kembali memberikan warning tentang potensi ancaman yang kian nyata terhadap postur demografi Indonesia itu. Catatan utama adalah soal ketimpangan sosial ekonomi yang semakin melebar. Data BPS mengonfirmasikan bahwa penduduk kaya menikmati kue perekonomian lebih besar dibandingkan penduduk miskin. Pada 2008, misalnya, penduduk di kelompok pendapatan terendah masih menikmati 21% hingga 23% kue ekononu nasional.
Namun, porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada 2012. Sebaliknya, penduduk terkaya menikmati 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Maka, jika selama ini terdapat jargon sarkastis bahwa "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin", tidaklah terlalu berlebihan meski harus dikoreksi agar lebih tepat, yakni "yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin".
Kondisi itu terjadi karena pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan sosial ekonomi. Dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6% per tahun, pendapatan penduduk miskin hanya naik maksimal 2% per tahun. Sebaliknya pendapatan penduduk terkaya naik hingga 8%. Dengan kata lain, pendapatan orang kaya melonjak signifikan, sebaliknya pendapatan orang miskin naik sedikit demi sedikit saja.
Bukan cuma itu. Kerawanan postur demografi juga terlihat dari ledakan jumlah penduduk yang mengkhawatirkan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai 1,49% dalam kurun waktu 2000 hingga 2010, dan diperkirakan saat ini sudah lebih tinggi lagi. Laju pertumbuhan penduduk sekencang itu adalah peringatan serius bagi Indonesia, karena sebelumnya hanya berkisar 1,1% hingga 1,2%. Persoalannya, laju pertumbuhan penduduk yang cepat itu justru terkonsentrasi pada penduduk miskin. Merujuk data BPS. rata-rata anggota keluarga per rumah tangga penduduk miskin adalah 4,84; yang berarti beban sosial ekonominya sangat berat. Sebaliknya anggota keluarga rumah tangga penduduk kaya hanya sekitar 3.
Belum lagi, umur rata-rata kepala rumah tangga miskin adalah 49 tahun, dengan rata-rata usia kerja pendek. Akibatnya, akses terhadap pendidikan semakin menjauh, begitu pula kesehatan, yang berdampak pada penurunan kompetensi mereka untuk masuk pasar kerja.
Postur kemiskinan ini akan berdampak terhadap layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Apabila tidak segera dicari jalan keluar yang tepat untuk mencegah ledakan penduduk lebih cepat lagi, sekaligus menyediakan layanan kebutuhan dasar tersebut, maka bencana demografi akan menggantikan bonus demografi.
Maka tidak ada pilihan, program Keluarga Berencana harus digalakkan lagi. Selain itu, pemerintah baru nanti perlu lebih memperhatikan kebijakan yang langsung menyentuh aspek demografis tersebut, terutama menyelamatkan penduduk miskin.
Salah satunya adalah dengan memperbaiki kebijakan dan politik pembangunan, agar pertumbuhan ekonomi lebih berorientasi pada sektoryang menciptakan lapangan kerja. Sekadar ilustrasi, pertumbuhan sektor pertanian yang menyerap 35% tenaga kerja hanya tumbuh 3% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan sektor transportasi dan telekomunikasi, dengan daya serap tenaga kerja hanya 4% alias padat modal, tumbuh jauh lebih tinggi, di atas 7%.
Inilah pekerjaan rumah yang telah diwariskan pemerintah sekarang, yang akan jatuh tempo 5 bulan lagi. Ke depan, tugas berat bagi pemerintahan baru segera menanti.
sumber
0 comments:
Post a Comment