Tema utama kampanye Jo-kovi-JK yang mengusung Revolusi Mental dapat di-artikan bahwa pemerin-tahan baru menempatkan penduduk sebagai isu sentral pembangunan lima tahun ke de-pan. Karena sesungguhnya, mental penduduklah yang diharapkan akan mengalami revolusi melalui berbagai intervensi kebijakan yang tepat.
Peluncuran program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan KartuKeluarga Sejahtera (KKS) dapat berfungsi tak hanya meng-angkat kualitas hidup penduduk miskindan rentan, tetapi juga mampu menjadi instrumen utama dalam revolusi mental. Namun, kita perlu menyadari bahwa pembentukan mental dan karakter manusia berawal dalam keluarga. Keluargadidefinisikan sebagai unit terke-cil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri,dan anak-nya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (mengacu pada UU No 52/2009). Undang-undang ini menempatkan keluarga Sebagai wahana perta-ma dan utama membangun kualitas jasmani maupun rohani setiap individu. Pembentukan Badan Kependudukan dan KeluargaBerencana Nasional (BKKBN) melalui Keputusan Presiden No 8 Tahun 1970 bermakna bahwa pe-merintah sepenuhnya meletakkan program Keluarga Berencana (KB) sebagai salah satu programutama pembangunan di Indonesia. Pada awal pelaksana-annya, KB fokus diarahkan untukmenekan angka kelahiran.
Jumlah anak per perempuan (yang diukur dengan total fertility rate) ber-dasarkan Sensus Penduduk1971 menca-pai 5,6 anak. Maknanya, perempuan di Indonesia hingga selesai masa reproduk-sinya rata-rata punya anak lima hingga enam orang. Penurunan tingkat kelahiran diharapkan positif pada peningkatan kesejahteraan keluarga. Dalam implementasi gerakan KB nasional, BKKBNmenggunakan konsep norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) sebagai dasar filosofi. Tema sentralnya.keluarga kecil menjadi kunci membangun keluarga bahagia dan sejahtera.
Keluarga kecil berhasil menjadi ni-lai yang dianut sebagian besar keluarga Indonesia. Namun, meskipun ukuran keluarga sudah mengecil, kondisi bahagia dan sejahtera belum sepenuhnya tercapai. Peran KB telah ditingkatkan, bukan sekadar pengendalian kelahiran, melainkan juga untukmeningkatkan kesejahteraan keluarga.
Terbitnya UU No 10 Tahun 1992 ten-tang Pembangunan Keluarga dimaksud-kan untuk memperkuatprogram KB. Program KB berdimensi lebih luas, meli-batkan intervensi kebijakan yang terkait upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Selanjutnya UU ini disempurnakan menjadi UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. UU tersebut je-las menjadi pijakan pemerintah menja-lankan program KB nasional dan upaya mewujudkan Iceluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan sehat.
Mungkin kita akan bertanya, apa hubungannya KB dengan mental seseorang? Ada banyak definisi mental yang berkembang. Mental dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang merespons setiap kondisi yang dihadapinya, tercermin dalam emosi, pikiran, sikap, dan tindakannya. Bagaimanapun, mental seseorang dapat dipengaruhi oleh kehidu-pannya dalam keluarga.
Setiap orang tua tidak hanya beru-paya agar anak mereka tumbuh sehat dan cerdas secara fisik, tetapi juga mem-iliki kecerdasan mental yang baik. Untuk membangun kecerdasan mental, dibutuhkan kasih sayang dan ikatan b-atin yang kuat antara anak dan orang tu-anya. Dalam keluarga dengan banyak anak, ketersediaan waktu untuk mencu-rahkan perhatian dan kasih sayang pada anakmenjadi lebih sedikit. Sekalipun orang tua memiliki kemampuan eko-nomi yang baik untuk membiayaianak dalam jumlah banyak, tapi tidak banyak waktu luang bag) mereka.
Badan Pusat Statistik beberapa bulan lalu merilis indeks kebahagiaan. Di-ungkapkan bahwa rumah tangga akancenderung rendah indeks kebahagiaan-nya saat jumlah anggota rumah tang-ganya lima orang atau lebih. Maknanya, semakin banyak anak, cenderung semakin tidak bahagia. Kemampuan pem-biayaan pendidikan dan kesehatan bagi anak juga sangat ditentukan oleh jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga.
KB tidak bisa hanya dimaknai sebagai upaya pengendalian kelahiran. KB harus dimaknai sebagai upaya untuk membangun nilai perencanaan dalam keluarga. Perencanaan yang baik akan menghindarkan keluarga dari masalah dan tekanan psikologis.
Mental anggota keluarga menjadi lebih tangguh jika ada perencanaan jelas. Dimulai dari menentukan saat tepat untuk menikah, hamil, mengatur jarak an-. tarkehamilan, gizi anak, imunisasi, pendidikan,dan sebagainya.
Namun, kita juga tidak bisa menutup atas realitas sosial di masyarakat. Tidak semua individu hidup dalam keluarga. Di antara berbagai kemungkinan, anak yatim piatu dan telantar menjadi salah satu contoh realitas tersebut.
Intervensi pemerintah dalam bentuk KIP, KIS, dan KKS juga harus mampu menjangkau kelompok penduduk yang tidak hidup dalam keluarga. Membantu individu yang tidak merasakan keha-dirankeluarga. Kita harus mengidenti-fikasikan dengan baik pelayanan sosial menurut setiap kelompok umur, sesuai tahapan siklus hidup yang mendukung pembentukan kualitas mental individu tanpakeluarga.
Kita berharap pemerintah mener-jemahkan kebutuhan pembangunan mental penduduk dengan baik melalui intervensi yang tepat. KB mungkin dapat menjadi instrumen tepat untuk membangun mental penduduk dalam konteks keluarga. Namun, pelayanan sosial terpadu menjadi media yang tak kalah pentingnya membangun mental penduduk yang tidak hidup dalam keluarga. Setidaknya bagi mereka yang hidup dalam kondisi di luar definisi keluarga di atas. Kebijakan bukan dibuat hanya untuksebagian orang, tapi harus mampu memayungi semua.
SONNY HARRY B HARMADI
Kepala Lembaga Demografi FEUI. Ketua Umum Koalisi Kependudukan
0 comments:
Post a Comment