Keputusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Perkawinan terkait dengan pasal yang membolehkan pernikahan perempuan usia muda sungguh disesalkan. Sikap Mahkamah yang menyarankan agar revisi aturan tersebut melalui DPR sama saja dengan melempar "bola panas" ke Senayan.
Putusan tersebut diketuk pada Kamis pekan lalu. Menurut Mahkamah, tiada jaminan peningkatan batas usia kawin perempuan dari 16 menjadi 18 tahun akan mengurangi angka perceraian, menanggulangi masalah kesehatan, atau menekan masalah sosial lain.
Permohonan uji materi terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 diajukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Masyarakat untuk Keadilan Gender, dan Koalisi Perempuan Indonesia. Mereka menyoal Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan yang mengizinkan pernikahan perempuan usia 16 tahun.
Menikahi perempuan berusia dini sesungguhnya perbuatan keji. Ini artinya sama dengan merampas hak mereka sebagai anak. UU Perlindungan Anak mengkategorikan mereka yang berusia di bawah 18 tahun sebagai anak. Dan, sebagai anak, mereka memiliki sejumlah hak, antara lain mendapat pendidikan minimal 12 tahun seperti diprogramkan pemerintah.
Data-data yang disodorkan pemohon memang membuat kita prihatin. Indonesia, misalnya, merupakan negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia, yakni ranking ke-37, atau tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Ibu Indonesia pada 2012 menunjukkan sekitar 10 persen atau 6.927 remaja usia 15-19 tahun pernah melahirkan atau tengah hamil anak pertama.
Kehamilan remaja perempuan juga rentan terhadap berbagai risiko karena, secara fisik, mental, sosial, ataupun ekonomi, mereka belum siap. Beban psikologis makin bertambah jika kehamilan terjadi di luar nikah. Risiko kehamilan dan melahirkan pada usia dini merupakan salah satu penyumbang angka kematian ibu yang tergolong tinggi di Indonesia, yakni 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Adapun angka kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Mahkamah seharusnya memperhatikan argumen dari aspek kesehatan yang diusung para pemohon itu. Berdasarkan UU Perlindungan Anak yang menyatakan mereka yang berusia 18 tahun ke bawah masuk kategori anak MK bisa menerima dalih pemohon, menaikkan usia minimal perempuan boleh menikah menjadi 18 tahun.
Penolakan kelompok agamis yang khawatir larangan menikah dini bisa menyebabkan perzinaan rasanya juga berlebihan. Pernikahan dini bukan solusi mencegah perzinaan. Yang terjadi kini, banyak pria, karena UU Perkawinan membolehkannya, menikahi perempuan usia muda semata demi syahwat. Dan di sini, sekali lagi, yang menjadi korban adalah perempuan.
Kita menyayangkan sikap Mahkamah, yang seolah-olah menutup mata atas segala akibat negatif Pasal 7 UU Perkawinan ini terhadap perempuan.
0 comments:
Post a Comment