Kini, penanganan pengguna narkoba mengedepankan pendekatan yang lebih humanis. Pengguna maupun pecandu narkoba tidak lagi dikriminalisasi atau dipidana penjara, tapi akan direhabilitasi. Mengacu pada UU No 35/2009 tentang Narkotika, telah ditandatangani Peraturan Bersama Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan ke dalam Lembaga Rehabilitasi beberapa waktu lalu.
Peraturan bersama tersebut ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Jaksa Agung Basrief Arief, Kepala Polri yang diwakili Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Suhardi Alius, Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Anang Iskandar, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, serta Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie (Kompas, 12/3/14).
Penerbitan peraturan bersama ini menegaskan bahwa penjara diberlakukan bagi pengedar dan produsen narkoba. Penentuan seseorang pengguna, pecandu, atau pengedar akan dilakukan tim assesment terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tim terpadu ini terdiri dari tim dokter dan tim hukum. Berdasarkan hasil assesment, tim akan mengkategorisasi seseorang sebagai pengguna serta pecandu, yang selanjutnya akan menjalani rehabilitasi sesuai tingkatannya.
Pengguna rekreasional akan direhabilitasi dengan melaporkan diri secara sukarela kepada institusi penerima wajib lapor. Pengguna dalam kategori sedang akan direhabilitasi dengan rawat jalan. Pengguna kategori berat akan direhabilitasi dengan rawat inap. Ini merupakan—meminjam ungkapan Nafsiah Mboi—langkah bersejarah dalam penanganan narkoba. Penanganan utuh dan menyeluruh lintas sektor ini dimulai dari pencegahan, rehabilitasi, hingga tindakan hukum bagi pengedar dan produsen.
Inabah Suryalaya
Tentu ketika mendengar rehabilitasi korban narkoba akan terlintas dalam benak kita tentang sebuah nama besar yang fenomenal dan suatu tempat di Jawa Barat, Abah Anom dan Pesantren Suryalaya. Abah Anom yang bernama lengkap K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin adalah penemu metode penyembuhan korban penyalahgunaan narkoba dengan pendekatan spiritual, yang lebih dikenal dengan nama Inabah. Meski Abah Anom telah kembali menghadap Ilahi beberapa tahun lalu, metode Inabah temuannya terus berkembang dan telah dijadikan model penyembuhan korban penyalahgunaan narkoba.
Inabah menjadi trademark yang melekat pada Pesantren Suryalaya. Inabah pada akhirnya menjadi nama, bukan hanya untuk proses penyembuhan korban narkoba, melainkan juga nama pondok hunian anak bina (sebutan bagi santri inabah) yang tersebar di berbagai kabupaten, provinsi, bahkan negeri tetangga. Sementara, di kompleks Pesantern Suryalaya sendiri tidak didirikan pondok Inabah. Abah Anom mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta memberikan tempat menginap berupa pondok-pondok Inabah yang pengelolaan dan koordinasinya ada di bawah Yayasan Serba Bakti Suryalaya bidang Inabah. Demikian urai Salahudin dalam salah satu bukunya Abah Anom; Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya.
Abah Anom menciptakan metode penyembuhan ini lengkap dengan kurikulum yang sepenuhnya didasarkan atas tradisi sufistiknya. Anak bina memulai kegiatan dengan mandi malam atau dikenal dengan mandi tobat, kemudian shalat dan berzikir. Secara umum kegiatan di Inabah berpusat pada shalat dan zikir yang langsung dibimbing pembina Inabah. Shalat dan zikir mendominasi kurikulum Inabah karena keduanya memiliki daya penyembuh yang luar biasa (Salahudin, 2013).
Selain banyak cerita mistik yang melingkupi perjalanan panjang hidupnya, sikap keberagamaan Abah Anom yang terbuka merupakan teladan yang patut disimak. Orang yang datang kepadanya tidak hanya mereka yang berkeyakinan sama, tapi juga yang berbeda keyakinan. Para pecandu narkoba yang disembuhkan di Inabah tidak hanya mereka yang beragama Islam, tapi juga kalangan non-muslim.
Apa yang ditampilkan Abah Anom adalah wajah agama yang teduh dan menjadi payung kasih sayang bagi siapapun. Ia menampilkan agama dengan penuh cinta yang menjadi tempat bersandar bagi umat manusia yang dirundung duka lara dan gelisah. Agama yang didengungkan Abah Anom adalah agama yang cerah dan mencerahkan, bahkan bagi mereka yang tesesat dalam lorong gelap narkoba.
Sesungguhnya, rehabilitasi bertujuan agar penderita dapat kembali menjalani hidup dan kehidupannya secara normal. Sebab itu, merujuk pendapat beberapa pakar, selain rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, perlu juga rehabilitasi kehidupan beragama. Rehabilitasi kehidupan beragama dimaksudkan untuk memicu dan memacu kesadaran spiritual korban tentang urgensi menjalankan ajaran agama yang dianut.
Agama adalah kompas penunjuk arah bagi manusia setelah ia dianugerahi kebebasan oleh Sang Maha Pencipta. Ini bukan semata soal pengetahuan keagamaan, tetapi jauh dari itu adalah pengamalan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan nyata. Abah Anom secara sempurna mencontohkan bahwa penghayatan ruhani keagamaan tidak hanya berada di dalam diri yang tak tampak, tapi juga menyembul dalam wujud nyata dalam ucapan dan tindakan sehari-hari.
Ajaran Abah Anom salah satunya adalah seruan untuk mengembalikan agama pada wujud asalnya, yaitu cinta. Cinta yang menggelora merupakan ruh agama sebagai spirit untuk terus mengabdi menjadi manusia sejati. Menjadi bagian dari solusi atas problematika kemanusiaan yang tak kunjung usai. Dengan cinta pula Ia menyeleraskan ucap, tekad, dan langkah untuk menuntun mereka yang terjerat narkoba menemukan kembali jalan cahaya. Cinta inilah yang sepatutnya hadir sebagai penawar di tengah kegersangan spiritualitas yang kini melanda banyak keluarga.
“Cintailah semua yang ada di bumi, niscaya kau akan dicintai yang ada di langit,” demikian Kanjeng Nabi mengingatkan dalam salah satu sabdanya. Korban penyalahgunaan narkoba adalah mereka yang butuh uluran cinta, sentuhan dan belai lembut keluarga yang menghangatkan. Tempat sejati bagi mereka bukan penjara, tapi keluarga fungsional yang penuh intimasi dan kelembutan. Keluarga yang menerjemahkan cinta dalam tutur dan laku dari terbit hingga terbenam matahari.
Oleh: Moh. Tohirin Hasan (Widyaiswara BKKBN Pusat)
0 comments:
Post a Comment