Untuk pertama kalinya jutaan warga miskin di Filipina akan mendapat alat kontrasepsi gratis, setelah pengadilan tertinggi menyetujui undang-undang Kesehatan Reproduksi yang kontroversial pada Selasa, 8 April 2014. "Undang-Undang Kesehatan Reproduksi ini secara hukum tidak inkonstitusional," kata juru bicara Mahkamah Agung Theodore Te kepada wartawan saat mengumumkan keputusan itu.
Keputusan tersebut berbuah petisi melawan hukum kesehatan reproduksi yang didukung kelompok gereja. Gereja Katolik memang telah lama menolak undang-undang tersebut karena mengalahkan produk hukum reproduksi dari pihak gereja yang sudah berlaku lebih dari 15 tahun.
Dengan disahkannya undang-undang tersebut, pusat-pusat layanan kesehatan pemerintah wajib membagikan kondom dan pil kontrasepsi gratis, serta mewajibkan pendidikan seks diajarkan di sekolah-sekolah. Selain itu, pekerja kesehatan akan menerima pelatihan tentang keluarga berencana dan perawatan medis setelah aborsi juga dilegalkan.
Putusan Mahkamah Agung dielu-elukan oleh pendukungnya sebagai kemenangan dalam pertempuran untuk memerangi kemiskinan, memberdayakan perempuan, dan mengurangi ledakan penduduk di negara berpenduduk 100 juta orang itu.
Pegiat hak asasi perempuan di Filipina dan para pendukung keputusan menyatakan, ketetapan hukum akan menjadi alat yang ampuh untuk mengerem tingkat kesuburan warga Filipina yang merupakan salah satu tertinggi di Asia. Tingkat kelahiran yang tinggi ini memberi kontribusi tinggi terhadap kemiskinan.
Isu kesehatan reproduksi ini menjadi kontroversial di Filipina karena hampir 80 persen penduduknya adalah penganut Katolik, warisan pemerintahan kolonial Spanyol. Selama ini Filipina adalah satu-satunya negara yang menetapkan perceraian adalah tindakan ilegal, dan aborsi dilarang keras.
"Keputusan monumental ini kembali menegakkan pemisahan antara gereja dengan urusan negara. Dan kembali menegaskan supremasi pemerintah dalam berbagai masalah sekuler seperti kesehatan dan perkembangan sosial ekonomi," kata seorang legislator, Edcel Lagman, yang mengomentari keputusan pengadilan itu.
0 comments:
Post a Comment