“KEMAMPUAN seseorang untuk membaca sesuatu yang terjadi pada dirinya sebagai penggalan episode kehidupan yang memiliki makna adalah penentu bagi tercintanya nuansa jiwa yang tenang dan pribadi yang dewasa. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sejatinya adalah kisah yang utuh dan bersambung, pertalian indah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.”
Pencoblosan pemilu legislatif telah usai dilaksanakan 9 April 2014, dengan beberapa pengecualian beberapa tempat yang ditakdirkan memiliki kendala. Jalan raya dan jalan setapak mulai sepi dari gambar-gambar yang setia menjaganya dalam bulan-bulan terakhir ini.
Pandangan mata penduduk negeri ini beralih fokus pada hasil quick count untuk menduga partai mana yang ditakdirkan mendulang suara terbanyak dan partai apa yang tersungkur dari tangga kehormatan.
Walau hasil quick count bukan hasil yang pasti, wajah sumringah tampak sekali pada pengurus dan simpatisan partai pemenang sebagaimana raut “agak” gelisah samar-samar terlihat di aura wajah partai yang tidak menduga perolehan suaranya sedemikian rendah.
Ada pula yang masih tegar dan bersemangat menunggu takdir lain dari hasil real countnantinya. Ada pula yang sudah mulai melancarkan protes dengan menunjukkan kecurangan dan pelanggaran yang menciderai rasa keadilan.
Beragam cara manusia menyikapi takdir. Tidak hanya dalam konteks pemilu, melainkan juga dalam konteks kehidupan yang beraneka ragam ini. Para bijak bestari mewariskan hikmah-hikmah kehidupan yang telah mereka jalani untuk menjadi pelajaran dan pegangan agar anak-cucunya tidak menjadi “korban” takdir, melainkan menjadi “penikmat” takdir.
Firman Allah sebagai pemilik dan pengatur alam tentu menjadi rujukan utamanya, sementara pengalaman hidup mereka adalah sebagai pembuktian kebenarannya. Salah satu kaidah kehidupan yang dinyatakan dalam al-Qur’an (QS 2: 216) adalah: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu mencintai sesuatu padahal hal itu buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Ayat ini mendorong manusia untuk tidak terlalu gelisah manakala takdir kehidupannya tidak sesuai dengan yang diinginkannya, sekaligus juga tidak sombong ketika takdir itu sesuai dengan yang dikehendakinya.
Hidup ini memang unik. Keinginan dan usaha manusia memang sangat penting sebagai sebab (mediasi) berlakunya ketetapan nasib di zaman azali menjadi kenyataan hidup zaman kini. Tetapi Allah sebagai prima causa menjadi penentu utama yang memiliki privilege yang tidak dapat diganggu gugat untuk mentaqdirkan sesuatu yang bisa saja di luar asumsi kebanyakan manusia. Contoh yang sangat aktual saat ini adalah hasil quick count pemilu kemarin yang ternyata ada perbedaan antara ‘survey bumi’ dengan ‘survey langit’.
Betapapun ada prediksi yang tepat tentang partai mana yang akan naik dan partai mana yang akan turun signifikan, namun prediksi persentase yang menyatakan akan ada partai yang meraih 30 persen suara terbukti tidak benar.
Sebagaimana prediksi bahwa akan ada dua partai yang bisa melenggang dengan tenang (dapat tiket) menuju pilpres juga sepenuhnya tidak benar. ‘Survey langit’ sepertinya menghendaki politik di Indonesia harus berkoalisi, tidak boleh ada yang bisa bisa membangun tanpa kebersamaan partai lain.
Di balik kenyataan politik ini pasti terkandung hikmah besar; keinginan Allah untuk menghilangkan arogansi politik dan menggantikannya dengan kesantunan politik untuk bersama-sama mempersembahkan yang terbaik bagi masa depan Indonesia.
PDI Perjuangan sebagai partai yang kuat dalam bidang ekonomi kerakyatan dan kepedulian wong cilik akan menjadi digdaya kalau bekerja sama dengan partai yang kuat dalam bidang penataan ekonomi global dan birokrasi.
Memahami takdir dari perspektif hikmah akan menjadikan jalan hidup menjadi lebih nikmat. Dua poin yang harus dijadikan pijakan: pertama bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang memang harus terjadi, yang telah menjadi kehendak Allah. Kedua bahwa sesuatu yang terjadi itu memiliki ruang dan waktu, tidak akan mempengaruhi keseluruhan hidup dan tidak akan berjalan abadi.
Berkaitan dengan poin pertama, para bijak berkata: “Sesuatu yang ditakdirkan bagimu akan tiba kepadamu, walaupun kamu dalam keadaan lemah. Sesuatu yang tidak ditakdirkan untukmu tidak akan engkau peroleh walaupun kamu berupaya keras sampai berdarah-darah.”
Mencerna petuah ini dengan baik akan menjadikan kita berjiwa besar menghadapi kegagalan atau takdir yang tidak sesuai dengan kehendak kita, yakni jiwa yang tulus ikhlas, ridla tanpa mengeluh dan menyalah-nyalahkan orang lain.
Apapun yang terjadi dengan hasil pemilu legislatif kemarin dan apapun yang akan terjadi dengan pemilihan presiden yang akan datang harus dibaca sejalan dengan kaidah kehidupan di atas. Pembacaan seperti in akan meminimalisir, bahkan menegasikan, kemungkinan terjadinya chaos atau konflik yang destruktif untuk bangsa ini; idak akan ada ancaman dari suatu partai pada partai yang lain, terlebih juga tidak akan ada ancaman akan keselamatan calon presiden atau calon pemimpin bangsa lainnya pada masa yang akan datang.
Poin kedua dijelaskan dengan baik oleh Syekh Badi’uzzaman Sa’id Nursi dalam kitabnya Lama’at yang menganjurkan kita untuk tidak membesar-besarkan musibah yang ditimpakan pada kita. Beliau berkata: “ketika seseorang menaruh perhatian besar pada ilusi yang tampak malam hari, maka ilusi itu akan membesar; tetapi ketika ia mengabaikannya maka ilusi itu akan menghilang dengan sendirinya. Persis ketika seseorang menghampiri sarang lebah, maka lebah itu akan menyerang, tetapi kalau ia meninggalkan sarang itu maka lebah itu akan bercerai berai.” Begitu pula dengan musibah yang terjadi pada kita.
Tercatat dalam sejarah bahwa jalan takdir bangsa Indonesia tidaklah selalu lurus dan penuh dengan bunga-bunga, melainkan berbelok-belok penuh dengan onak dan duri. Tugas kita adalah menjadi pelurus jalannya sejarah dan masa depan pembangunan sekaligus mencatatkan diri sebagai bunga-bunga yang harum dikenang oleh generasi mendatang, bukan menjadi pembelok dan pembengkok jalan yang sudah lurus serta menjadi onak dan duri dalam catatan sejarah dan “tubuh” pembangunan.
Presiden dan pejabat masa yang akan datang haruslah sekumpulan orang yang yang mampu memadukan kesederhanaan dan kewibawaan, mengawinkan keadilan dan kasih sayang, mempertemukan keimanan dan profesionalitas, mengkombinasikan kesantunan dan ketegasan, serta menguatkan nasionalisme dan spiritualisme. Akumulasi sifat-sifat positif di atas akan menggerakkan anak bangsa mampu menikmati jalannya takdir negeri ini, yakni tetap bersatu dan rukun dalam wadah NKRI tercinta. [*]
Oleh: Ahmad Imam Mawardi
0 comments:
Post a Comment