Pelatihan pendataan dan pemetaan keluarga bagi para dosen pembimbing lapangan untuk kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) tematik Posdaya, telah selesai dilakukan pada bulan Maret 2015. Tidak kurang dari 325 perguruan tinggi yang selama ini ikut dalam kegiatan kuliah kerja nyata telah mengirimkan dosen dan mahasiswa senior ikut pelatihan, baik tentang falsafah, teori maupun praktek pendataan dan pemetaan keluarga di desa. Banyak kejutan yang mereka alami dalam pelatihan dan praktek lapangan.
Umumnya keluarga desa yang lugu dan penuh harapan menerima para dosen melakukan praktek di lapangan dengan senang hati dan harapan baru. Keluarga desa berharap nasib mereka bisa berubah karena dosen dan mahasiswa, yang kelak menjadi pemimpin bangsa, bisa memperbaiki nasib mereka. Para dosen muda dan mahasiswa, melalui pendataan itu akhirnya memetakan seluruh keluarga di Posdaya dan di pedesaan dalam suatu peta sederhana, mudah dibaca tetapi dengan jelas menggambarkan keadaan seluruh keluarga di wilayahnya.
Keluarga prasejahtera sebagai sebuah keluarga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar yang sangat minimum ternyata masih banyak di desa dan di kelurahan di perkotaan. Bangunan mewah yang berjejer di jalan-jalan di perkotaan, dengan keluarga dan anggotanya yang keluar masuk rumah dengan mobil atau sepeda motor, di belakangnya ternyata masih menyembunyikan puluhan keluarga lain yang memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh untuk bisa menikmati kemerdekaan di tanah air tercinta ini. Keluarga-keluarga prasejahtera tidak terlalu kelihatan secara fisik, karena terlindung oleh bangunan dan kemewahan yang kadang tidak mengenal tetangganya yang menderita.
Di pedesaan, biarpun sepintas tidak terlalu menyolok adanya perbedaan seperti itu, tetapi sering kita lihat kesenjangan juga bertambah menganga. Keluarga yang gagal membebaskan diri dari kemiskinan, anaknya yang dianggap dewasa segera dinikahkan. Keluarga baru ini jadi tambahan karena umumnya belum bisa secara sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan dasarnya yang sangat menimal. Keluarga baru itu ikut orang tuanya, bekerja seadanya dan akhirnya ikut menambah, bahkan menurunkan tahapan keluarga yang semula pada posisi keluarga sejahtera I, kembali menjadi keluarga prasejahtera.
Di daerah yang relatif gersang karena ditinggalkan anak mudanya, situasinya bertambah ruyem. Orang tua yang tertinggal tidak bisa mengolah sawah atau ladang yang terbatas dengan teknologi mahal.
Anak-anak muda dengan pendidikan seadanya tidak lagi mau tinggal di desa. Dengan bekal seadanya mencari kerja di kota atau di tempat-tempat yang menurut pengetahuan terbatas bisa memberi kemudahan hidupnya.
Mereka melepaskan diri dari kungkungan pedesaan yang secara turun menurun menghasilkan keluarga yang hampir tidak pernah berubah. Anak-anak muda mencoba hidup baru yang menjanjikan. Yang ditinggalkan, karena idak ada tenaga kerja muda, menjadi lebih sengsara. Anak muda yang menggabung pada keluarga lain di kota menyebabkan keluarga tempat bergabung merosot menjadi keluarga prasejahtera baru karena tanggungannya bertambah berat.
Pendataan dan pemetaan keluarga dengan tepat menempatkan keluarga prasejahtera dengan jelas di dalam peta. Para dosen dan mahasiswa senior semester ke 7 yang sebentar lagi akan lulus menjadi sarjana bertamah pengetahuannya bahwa gemerlapan keluarga di kota yang tinggal di rumah mewah tidak berarti di belakang rumahnya tidak ada masalah bangsa yang perlu segera dipecahkan.
Keluarga yang ikut bergabung dengan keluarga lain yang lebih dulu ke kota membawa masalah bagi keluarga yang ditinggalkan di desa, dan menurunkan tahapan keluarga desa yang lebih dulu pindah ke kota. Belum sampai keluarga sanak saudara di kota berkembang dan berubah menjadi keluarga sejahtera III sudah “terpaksa” menjadi keluarga sejahtera III plus, uaitu menolong kerabatnya yang ikut arus pindah ke kota. Akibatnya, keluarga pelopor kepindahan itu gugur, berubah kembali menjadi keluarga sejahtera II, atau bahkan merosot menjadi keluarga prasejahtera. Alasan sangat sederhana, karena “berbaik hati” menolong anggota keluarga dari desa, anaknya sendiri, terpaksa tidak melanjutkan pendidikan, dan jadilah keluarganya masuk dalam kategori keluarga prasejahtera.
Insha Allah, seperti halnya pada saat kita gencar-gencarnya mengatasi kemiskinan di Indonesia pada tahun 1990-an, peta yang secara seksama dibuat oleh rakyat sendiri, akan bisa mempersatukan seluruh keluarga di suatu kawasan untuk menyegarkan kembali budaya hidup gotong royong, bersatu bekerja bersama menolong keluarga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya yang sangat menimal.
Kita tidak perlu malu, karena ternyata di tanah air tercinta ini memang masih ada peristiwa keluarga yang naik tingkat tetapi juga ada keluarga turun dari suatu fase kemajuan ke tingkatan yang lebih rendah. Ada alasan yang didorong rasa kemanusiaan yang sangat luhur ingin menolong saudaranya yang masih menderita, karena belum mapan, rasa kemanusiaan itu justru bisa menyeret keluarganya mundur ke posisi lebih rendah.
Disamping itu, ada karena alasan kesombongan, membuat batasan untuk keluarganya. Keluarga ini tidak mau peduli sesama, takut kehilangan gengsi dan merasa sudah bekerja keras kenapa yang lain mau enaknya sendiri saja. Ada ribuan alasan lain yang bisa diurai dengan panjang lebar. Pendataan dan pemetaan keluarga mengundang hati nurani kita untuk berbagi bukan dengan gratis, tetapi melalui pemberdayaan kerja cerdas dan keras. Marilah berbagi untuk keluarga Indonesia yang masih tertinggal.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).
0 comments:
Post a Comment