Isu kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) belum menjadi prioritas para calon legislatif (caleg).
Terbukti selama masa kampanye Pemilu 2014 ini belum terdengar satu pun caleg yang mengusung isu ini.
Yang paling menonjol dalam kampanye antara lain isu korupsi, kemiskinan, kemandirian pangan, kesehatan dan pendidikan gratis serta penyelamatan hutan.
Padahal, tanpa disadari dan dipahami para caleg bahwa akar persoalan dari semua isu tersebut adalah pada pertumbuhan penduduk yang besar dan tidak terkendali.
"Isu kependudukan dan KB susah dijual dan kurang populer. Padahal, mereka tidak tahu bahwa hubungannya erat, pengaruh ke semua sektor, mulai dari kemandirian pangan, kemiskinan, pengangguran dan lainnya," kata Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan KB Nasional (BKKBN) seusai membuka workshop pengembangan forum kerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan, di Bogor, Selasa (1/4).
Menurut Fasli, biasanya yang disampaikan caleg dalam kampanye adalah isu yang mudah disampaikan dan langsung mengena masalah dalam kehidupan masyarakat.
Bisa jadi karena caleg juga tidak paham mengenai isu kependudukan, atau sudah paham tapi kurang prioritas. Bisa juga caleg tidak ingin menimbulkan kontroversi, mengingat program-program KB sendiri belum sepenuhnya dipahami masyarakat.
Namun demikian, Fasli berharap isu kependudukan tetap menjadi perhatian caleg setelah terpilih duduk di parlemen. BKKBN akan mengambil kesempatan pada masa setelah pemilihan dan sebelum pelantikan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada mengenai pentingnya isu kependudukan dan KB.
Begitu pula dengan capres dan cawapres, BKKBN akan bekerjasama dengan Lemhanas di mana setiap pentahapan pemilihan, mulai dari talkshow hingga fit and proper test selalu memasukan pertanyaan tentang isu kependudukan dan KB. Capres dan cawapres ditantang untuk mengeluarkan pendapatnya tentang kependudukan dan KB serta disaksikan seluruh rakyat.
"Kami akan cari daya tarik agar isu kependudukan dan KB dimengerti oleh mereka. Kami akan mengumpulkan semua parpol untuk ini," kata Fasli.
Menurut Fasli, pemahaman terhadap isu kependudukan dan KB akan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan, baik legislatif maupun pemerintah.
Di legislatif misalnya, Fasli berharap ada pemahaman soal pentingnya merevisi UU Perkawinan. Upaya untuk revisi UU ini sudah lama dilakukan baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BKKBN, dan sejumlah organisasi lainnya, tetapi belum membuahkan hasil.
Selain bertentangan dengan UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan ini juga memicu perkawinan usia dini, bahkan lebih jauh berkaitan dengan kematian ibu.
UU Perkawinan memberikan kesempatan menikah dini bagi perempuan di usia 16 tahun, dan laki-laki 19 tahun. Selain belum siap secara fisik, mental, maupun ekonomi, perkawinan usia dini pun memberikan peluang kepada perempuan untuk memiliki anak lebih banyak. Usia yang siap adalah 21 tahun perempuan, dan 25 tahun laki-laki.
0 comments:
Post a Comment