Jakarta, Risiko infeksi HIV (Human Imunodeficiency Virus) mengancam para pekerja seks di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bukan karena tidak ada akses kondom sebagai alat proteksi, melainkan pelanggan yang tidak mau menggunakannya.
"Posisi tawar mereka rendah. Kalau menolak pelanggan, mereka tidak dapat uang," kata Mia Nai Wati, seorang relawan dari Yayasan Tanpa Batas (YTB), ditemui usai peluncuran buku 'Mereka yang Tidak Pernah Menyerah: Kisah Para Pendamping PNPM Peduli' di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2014).
Para pekerja seks, terutama yang menjadi dampingan YTB, umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV. Termasuk, bahayanya, cara penularan dan pencegahannya. Namun dalam praktiknya di lapangan, pelanggan jauh lebih sulit untuk diberi pengertian.
Merasa sudah membayar, pelanggan umumnya tidak mau repot-repot menggunakan kondom. Bagi kebanyakan dari mereka, kondom masih dianggap mengurangi kenikmatan saat berhubungan seks. Padahal, kontak cairan tubuh yang terjadi bisa menularkan HIV.
Kondisi ini diakui oleh relawan YTB lainnya, Wilhelmus Bulu Manu alias Willy. Menurut pria yang lebih fokus melakukan pendampingan pada warga pesisir ini, pelanggan jauh lebih sulit diberi pemahaman tentang bahaya HIV maupun infeksi menular seks.
"Bagi mereka, keluhan apapun yang muncul pada alat kelamin, tahunya itu sifilis. Meski sebetulnya GO (gonorrhea), atau yang lain, disebutnya tetap sifilis. Lalu diobati sendiri dengan ramuan tradisional, tidak ke dokter," kata Willy.
YTB merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didirikan pada 1997, untuk mengangani isu-isu tentang kesehatan reproduksi di Kupang, NTT. Saat ini memiliki wilayah dampingan di 5 kelurahan, termasuk di antaranya 900 pekerja seks, baik langsung (hanya menjual jasa seks) maupun tidak langsung (pelayan bar, salon, spa, dengan layanan plus-plus).
0 comments:
Post a Comment