CATATAN HABRIAH, JAKARTA — Alternatif mencegah perkawinan dini, yakni pernikahan anak berusia di bawah 18 tahun, adalah memperketat pengasuhan orangtua. Diperlukan kemampuan orangtua dalam menanamkan nilai dan norma sosial serta kesehatan agar anak tidak terjebak dalam perilaku negatif.
Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Maria Ulfah Anshor, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (19/6), mengatakan, orangtua sering mengesampingkan pendidikan moral dan hanya fokus kepada nilai-nilai akademis. Salah satu aspek penting pendidikan moral adalah kesehatan reproduksi serta perilaku sosial yang tidak bersifat permisif.
"Kami menemukan banyak kasus anak yang terjerumus ke perilaku permisif dan orangtua memilih jalan pintas dengan menikahkan anak mereka," kata Maria. Hal tersebut bertentangan dengan kewajiban orangtua seperti yang dinyatakan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
Maria menekankan, pernikahan bukan solusi bagi masalah anak. Yang harus dilakukan orangtua adalah memberikan pengasuhan yang baik.
Kondisi jasmani, rohani, dan mental anak yang belum siap menghadapi kehidupan perkawinan bisa berdampak negatif. Dampak itu antara lain putus sekolah, menambah beban ekonomi keluarga, kekurangan gizi bagi anak perempuan yang tengah hamil, dan bayi yang lahir cacat. Berdasarkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, 50 persen ibu yang meninggal ketika melahirkan berusia di bawah 18 tahun.
Alternatif lain
Meski Mahkamah Konstitusi menolak merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 7 yang mengatakan bahwa usia minimal calon mempelai perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, berbagai kementerian dan lembaga telah mengambil beberapa langkah alternatif dalam upaya pencegahan perkawinan dini.
Langkah pertama adalah kerja sama antara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dengan Kementerian Agama untuk mengadakan penyuluhan kepada para anggota staf Kantor Urusan Agama agar tidak menerima permohonan menikah dari calon mempelai perempuan yang berusia kurang dari 21 tahun (Kompas, 11/2). Hal ini untuk menurunkan persentase perkawinan pertama yang berlangsung pada umur 15 tahun hingga 19 tahun yang menurut data Kementerian Kesehatan berjumlah 41,9 persen dari total perkawinan di Indonesia setiap tahun.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Wahyu Hartomo menjelaskan, pihaknya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat kabupaten/kota layak anak (KLA). Indikatornya antara lain tidak ada perkawinan dini, wajib belajar 12 tahun terpenuhi, dan anak tumbuh di lingkungan yang aman serta nyaman.
Selain itu, KPPPA bekerja sama dengan Forum Anak Nasional untuk mengadakan program tutor sebaya kepada anak-anak dan remaja dengan tujuan memberi pemahaman atas pentingnya pendidikan serta bahaya perkawinan dini. "Kalau menunggu revisi UU Perkawinan akan memakan waktu lama, sementara masalah perkawinan dini sangat mendesak untuk diselesaikan," ujar Wahyu.
Namun, Maria mengatakan bahwa program beberapa kementerian dan lembaga saja tidak cukup. Diperlukan gerakan penyadaran masyarakat, terutama para orangtua mengenai kerugian perkawinan dini. KUA, sekolah, dan KLA merupakan jalur formal. "Harus ada pendekatan ke jalur nonformal karena umumnya perkawinan dini berbentuk siri dan tidak tercatat oleh negara," kata Maria.
(KOMPAS)
0 comments:
Post a Comment