CATATAN HABRIAH, Deliserdang -- Jumlah kelahiran di usia remaja 15-19 tahun menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 sebesar 48/1.000 remaja. Nah, di Sumatera Utara, tingkat kelahiran di bawah usia 19 tahun relatif lebih kecil dibandingkan angka di tingkat nasional.
Kepala perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Utara, drg Widwiono MKes mengungkapkan angka kelahiran di bawah usia 19 tahun di Sumut yaitu 32/1.000 remaja, jumlah ini relatif lebih kecil dari tingkat nasional yakni 48/1.000 remaja. Meskipun, diakui pria yang akrab disapa Wid tersebut jumlahnya belum mencapai target nasional yakni 30/1.000 remaja.
"Tingkat kelahiran di usia remaja di 33 kabupaten/kota memang bervariasi. Tapi di Sumut rata-rata usia kawin pertama pertama di atas 21 tahun tetapi jumlah anaknya masih banyak, lebih dari dua. Sehingga Total Fertility Rate (TFR) nya masih 3,0, di atas angka nasional 2,6," tutur Wid, ditemui usai Pencanangan Baksos TNI KB-Kesehatan di Lapangan Beringin Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, dan ditulis pada Sabtu (23/5/2015) lalu.
Usia pernikahan pertama di Sumut diakui Wid berada di bawah angka nasional yaitu 20 tahun. Bahkan, di daerah seperti Tapanuli, usia kawin pertama di atas 22 tahun. Sebab, di Tapanuli umumnya para remaja akan bekerja dulu sebelum menikah. Hanya saja, di Tapanuli ada kaitan budaya di mana tiap kali ada perkawinan, ada nasihat yang berisikan wejangan 'Beranaklah kamu laki-laki 17, perempuan 16 sehingga menjadi 33'.
"Nah, budaya inilah yang masih melekat di Tapanuli. Sehingga yang terjadi walaupun usia kawin pertamanya tinggi, di atas 21 tahun tapi pasangan ini nggak berhenti punya anak apalagi kalau belum memiliki anak laki-laki. Tapi meski begitu ada juga daerah yang tingkat pendidikannya rendah dan itu memengaruhi usia kawin pertamanya di bawah 19 tahun," kata Wid.
Contohnya saja Nias di mana Angka Kelahiran Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate/ASFR) di sana masih 50 padahal angka di tingkat nasional 48. Menurut Wid, faktor pendidikan berperan penting di sini. Di mana pengetahuan seputar kesehatan reproduksi belum bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga kesadaran untuk melakukan program keluarga berencana pun masih rendah.
"Beda dengan Medan misalnya, ini kan daerah perkotaan jadi sudah hampir sama dengan pulau Jawa di mana pengetahuan masyarakat soal KB sudah meningkat, pengetahuan soal kontrasepsi sudah baik. Total Fertility Rate (TFR) di Medan 2 dan di Binjai 1,8, padahal di tingkat nasional saja masih 2,6. Maka dari itu, pemberian pengetahuan penting sekali," papar Wid.
Untuk menekan angka kelahiran, BKKBN Sumut bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat untuk lebih menggalakkan pengetahuan kesehatan reproduksi. Wid mengungkapkan, makin tinggi pendidikan soal kesehatan reproduksi di usia remaja, pengetahuan tentang KB lebih bagus sehingga penundaan usia perkawainan bisa lebih dilakukan. Selain dengan dinas pendidikan, BKKBN Sumut juga mendayagunakan kelompok masyarakat untuk memberi informasi seputar KB.
Menurut Wid, pendayagunaan kelompok masyarakat terbukti efektif. Hal ini terlihat dari permintaan Medis Operasi Pria (MOP) yang dulunya bisa dihitung dengan jari, saat ini makin membludak permintaannya. Wid sendiri pernah berdialogd engan satu keluarga yang memiliki anak 8-9 anak dan di situ pihak orang tua sudah merasa kerepotan.
"Akhirnya suaminya datang minta MOP. Maka dari itu penting sekali penyebaran informasi soal KB ke daerah-daerah yang memang TFR-nya masih tinggi. Lagipula sosialisasi kayak gitu kan nggak cukup sekali dua kali, untuk ikut KB pasti butuh waktu. Nah, dengan kerja sama dengan TNI ini petugas lapangan KB yang makin berkurang mendatangi calon aseptor bisa bertambah. Kami harap Dandim dibantu Danramil juga Babinsa secara intensif bisa melakukan pendekatan untuk bantu PLKB memberi penyuluhan KB," tutur Wid.
(detik)
0 comments:
Post a Comment