Kualitas dan Produktivitas Manusia Indonesia Masih Rendah Prasyarat yang dimiliki Indonesia untuk meraih bonus demografi jauh dari harapan. Padahal, pemerintah hanya punya waktu kurang dari 15 tahun untuk melakukan sejumlah upaya secara terintegrasi dan berkelanjutan. Jika itu tidak dilakukan, bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2028-2031 akan menjadi bencana.
"Bonus demografi butuh pertumbuhan penduduk terkendali," kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Ambar Rahayu, di Jakarta, Senin (27/4). Jika kelahiran tinggi, beban tanggungan atas penduduk tak produktif akan tinggi dan mengancam bonus demografi.
Bonus demografi teijadi saat tanggungan penduduk usia produktif (15-64 tahun) terhadap warga tak produktif di bawah 50. Pada 2015, Indonesia memasuki bonus demografi. Puncaknya pada 2028-2031, saat 100 warga usia produktif menanggung 46,9 penduduk tidak produktif.
Rendahnya tanggungan bisa dijadikan lompatan bagi Indonesia untuk menjadi negara maju berpendapatan tinggi. Namun, itu butuh suplai tenaga kerja bermutu, tersedianya lapangan kerja. ada tabungan rumah tangga yang diinvestasikan untuk hal produktif, dan banyak perempuan terdidik di pasar kerja.
Mantan Kepala BKKBN Fasli Jalai mengingatkan, indeks pembangunan manusia menunjukkan mutu rata-rata manusia Indonesia masih urutan ke-108 dari 187 negara pada 2013. Angka ke-matian ibu sebagai penanda mutu kesehatan negara 2012 ada 359 orang per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu tertinggi di Asia.
Jumlah penduduk usia produktif Indonesia tahun ini 171,9 juta orang atau hampir enam kali jumlah warga Malaysia. Namun, produktivitas tenaga keija Indonesia jauh lebih rendah. "Hampir 55 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan sekolah dasar atau lebih rendah," ujarnya.
Rendahnya produktivitas juga dipicu buruknya kondisi kesehatan masyarakat. Status gizi buruk sejak kandungan tak hanya memengaruhi pertumbuhan dan daya tahan tubuh anak Indonesia, tetapi juga kemampuan kognitifnya. Buruknya pengasuhan memicu tak matangnya mereka secara emosional dan sosial.
Di usia produktif, sejumlah penyakit degeneratif sudah muncul. Lemahnya upaya promosi kesehatan membuat gaya hidup sehat masyarakat kurang terbangun. Pemerintah fokus pada pengobatan daripada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
"Dana promosi kesehatan yang memadai sekitar 30 persen dari seluruh anggaran kesehatan," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementeri-an Kesehatan Usman Sumantri. Namun, anggaran kesehatan pemerintah yang terbatas banyak dipakai untuk membangun infrastruktur kesehatan.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Ascobat Gani menyatakan, Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan mengamanatkan anggaran kesehatan 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Namun, ketentuan itu belum diterapkan. Padahal, anggaran kesehatan memadai jadi investasi pembangunan manusia bermutu sejak dini.
Lapangan kerja Tiap tahun, 2 juta orang dari 3 juta lulusan SMA dan sederajat masuk pasar kerja. Sementara dari 800.000 lulusan perguruan tinggi per tahun, hanya 25 persen yang bisa masuk pasar keija setahun setelah lulus.
Selain itu, kemampuan tenaga keija Indonesia dinilai rendah oleh pemberi keija Itu meliputi aspek kecanggihan berpikir, perilaku, penguasaan komputer, dan penguasaan bahasa Inggris.
"Perlu dipikir ulang, mendidik semua anak empat tahun di perguruan tinggi atau cukup memberi mereka pelatihan bersertifikat internasional selama enam bulan agar bisa langsung bekerja di berbagai negara," kata Fasli. (sumber : BKKBN )
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Muhammad Firdaus menilai minat lulusan pendidikan Indonesia untuk berwirausaha rendah. Meski menjanjikan keuntungan dan pendapatan tinggi, mereka lebih suka jadi pekerja meski bergaji rendah.
"Untuk maju, butuh wirausaha 2 persen dari jumlah warga," ujarnya. Namun, pada 2014, Indonesia baru punya 1,65 persen warga sebagai wirausaha.
Selain itu, perempuan perlu didorong masuk pasar keija. "Sulit mendorong perempuan masuk pasar keija jika pemerintah tak memberi insentif khusus bagi perempuan," kata Kepala Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seni dan Budaya Kongres Wanita Indonesia Hetifah Sjaifudian.
Banyak perempuan berpendidikan memilih jadi ibu rumah tangga karena tak bisa menyerahkan pengasuhan anak kepada pihak lain dengan alasan keamanan dan pembiayaan. Sementara di tempat keija dan di sekitar tempat tinggal amat jarang ada tempat penitipan anak Buruknya transportasi publik dan keamanan dijalan turut menghambat perempuan bekerja.
0 comments:
Post a Comment